AngkaKematian Bertambah Tujuh Orang, Ruang ICU Rumah Sakit Rujukan Covid-19 di Kabupaten Bekasi Tersisa 25 Kamar. Sri Enny Mainiarti mengungkapkan total ruang ICU di 49 rumah sakit rujukan Covid-19 ada sebanyak 78. Untuk keterisian ruang ICU itu sebanyak 53 pasien corona.

detikBaliRabu, 11 Mei 2022 1424 WIB Sempat Dirawat 2 Hari, Satu Pasien DBD di Karangasem Meninggal Dunia Setelah dilakukan pemeriksaan, korban akhirnya juga dinyatakan terkena DBD, kemudian korban langsung dirawat secara intensif hingga nyawanya tak tertolong detikNewsRabu, 04 Agu 2021 1902 WIB Kasus Corona Mingguan Turun 5%, BOR Ruang Isolasi dan ICU Melandai Meski BOR di ruang isolasi dan ruang ICU secara nasional menurun, masih ada provinsi yang BOR-nya di atas 80 persen. detikNewsRabu, 14 Jul 2021 1314 WIB Ketua PAN Klarifikasi soal 'Tak Mau Lagi Dengar Anggota DPR Tak Dapat ICU' Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Partaonan Daulay menyatakan tak mau dengar lagi anggota DPR tak mendapatkan ruang ICU. Saleh mengklarifikasi pernyataannya tersebut. detikNewsMinggu, 27 Jun 2021 0934 WIB Patuhi Prokes! Ruang ICU di RS Banten untuk Pasien COVID-19 Sisa 33 Keadaan darurat COVID-19 membuat okupansi tempat tidur atau BOR semakin menipis. Bahkan, ICU untuk perawatan intensif pasien COVID-19 tinggal tersisa 33. detikNewsSelasa, 05 Jan 2021 1727 WIB Satgas COVID-19 Keterisian ICU-Isolasi Secara Nasional Mengkhawatirkan Menurut Satgas COVID-19, tren keterisian ruang ICU dan ruang isolasi meningkat dan mengkhawatirkan. detikNewsMinggu, 06 Des 2020 2248 WIB Anies 79% Tempat Tidur Isolasi Pasien COVID di DKI Sudah Terisi Gubernur DKI Jakarta Anies menyebut sebanyak 79% tempat tidur isolasi pasien COVID-19 di Jakarta sudah terisi. detikNewsKamis, 22 Okt 2020 0502 WIB Satgas Ketersediaan Ruang ICU di Jakarta Kini 64 Persen Doni Monardo menyebut ketersediaan ruang ICU di rumah sakit Jakarta kini 64 persen. Ada penambahan ruang ICU, setelah sebelumnya diprediksi akan penuh. detikHealthSenin, 12 Okt 2020 1444 WIB Satgas COVID-19 Keterisian ICU di DKI 70 Persen, Ini Detailnya Satgas COVID-19 mengungkapkan laporan terbaru jumlah ketersediaan ruang isolasi dan ICU untuk penanganan pasien Corona di DKI Jakarta, seperti berikut. detikNewsSelasa, 22 Sep 2020 1940 WIB Pemprov DKI Okupansi Tempat Tidur ICU Corona Per 20 September 79% Pemprov DKI menyampaikan data keterpakaian tempat tidur isolasi dan ICU untuk pasien Corona. Tingkat keterpakaian keduanya sudah lebih 50 persen. detikNewsSelasa, 15 Sep 2020 2306 WIB Pemprov DKI Okupansi Tempat Tidur ICU di 67 RS Rujukan Corona 83% Pemprov DKI Jakarta mengatakan persentase harian keterpakaian tempat tidur TT ICU di 67 rumah sakit rujukan pasien Corona di DKI Jakarta mencapai 83 persen. Lebihlanjut, Ulul memaparkan dari data POGI diketahui sebanyak 4,5 persen dari total jumlah ibu hamil yang terkonfirmasi positif Covid-19 itu membutuhkan perawatan di ruang ICU. Dan yang lebih membuat miris lagi, 3 persen dari ibu hamil yang positif COVID-19 meninggal dunia.
Namun, sebenarnya banyak dari pasien tersebut yang sebenarnya memiliki risiko gawat darurat kematian yang rendah. Kebutuhan mereka akan alat-alat di ICU pun tidak begitu mendesak. Selain itu, hanya sedikit sekitar 6% yang sembuh lebih cepat dbandingkan pasien yang dirawat di ruang rawat biasa. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa pasien yang sebenarnya tidak harus dirawat di ICU, namun ditempatkan di sana. Jadi, seperti apa kriteria pasien yang seharusnya dirawat di ICU? 1. Pasien yang harus dipantau dengan ketat Pada dasarnya, terdapat beberapa pasien yang membutuhkan perawatan dan pemantauan yang cukup ketat dari tenaga medis. Mulai dari pasien yang baru saja menjalani operasi, kecelakaan, atau mengalami cedera di kepala. Jika terjadi sesuatu hal yang sangat kritis, ruangan ICU dengan alat dan tenaga medisnya yang selalu siaga dapat bertindak dengan cepat. Selain itu, beberapa faktor seperti kondisi hemodinamik sistem aliran darah pasien, suhu ruangan, ventilasi, hingga nutrisi pun dipantau secara rutin di ICU. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan peluang hidup pasien tersebut. 2. Pasien dengan masalah paru Selain pasien yang harus dipantau dengan ketat, pasien dengan masalah paru juga sering dirawat di ICU. Misalnya, paru mereka meradang akibat cedera atau infeksi, sehingga membuat mereka sulit untuk bernapas. Kondisi tersebut terkadang membuat pasien membutuhkan alat ventilator agar mereka mudah bernapas. Oleh peralatan ruang ICU yang lengkap itulah mereka kerap dirawat di sini. 3. Pasien yang memiliki gangguan jantung Tekanan darah yang tidak stabil dan serangan jantung adalah kondisi yang sering dijumpai di ruang ICU. Oleh karena itu, dibutuhkan observasi yang lengkap untuk mengetahui penyebab dan perawatan yang tepat. Selain itu, orang yang baru saja menjalani operasi jantung rentan terhadap infeksi penyakit, sehingga memantau mereka di ruangan ICU adalah langkah yang sering diambil. Masalah ini cukup serius, terutama 24-48 jam awal yang dilalui oleh pasien. Maka itu, ICU sering digunakan untuk merawat pasien dengan masalah jantung. 4. Pasien yang terkena infeksi serius Infeksi yang parah dan serius membutuhkan perawatan yang intensif dari dokter. Misalnya, pasien yang menderita infeksi parah, sehingga menimbulkan sepsis, sangat direkomendasikan untuk dirawat di ICU. Untuk mereka yang mengalami infeksi, prioritas utama dari ICU ini adalah untuk mengobati pasien dengan cepat. Hal ini bertujuan untuk mencegah infeksi menjalar ke organ tubuh yang penting, seperti pernapasan atau sistem saraf pusat. Sesuai namanya, ICU memang diperuntukkan untuk pasien yang membutuhkan perawatan intensif karena kondisi kesehatannya. Peralatan yang lengkap dan tenaga medis yang selalu siaga dapat membantu pasien mendapatkan perawatan kesehatan yang terbaik demi kesembuhannya.
SEMARANG KOMPAS.TV - Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah, Yulianto Prabowo memastikan ruang isolasi dan ICU untuk pasien Covid-19 di Jawa Tengah masih aman. Apalagi saat ini angka kesembuhan pasien Covid-19 di Jateng meningkat dan angka kematian terus menurun. Terakhir dalam kurun waktu 6 hingga 13 September tercatat angka kesembuhan pasien Covid-19 di Jateng naik mencapai 75,12 persen Anak Asiasih 52, pasien yang meninggal dunia saat antre ruang ICU di RSUD Soewandhi Surabaya menemui Wakil DPRD Surabaya, Reni Astuti, Jumat 2/5/2023. Foto Farusma Okta Verdian/kumparanSeorang pasien bernama Asiasih 52 warga Tanah Kali Kedinding, Kecamatan Kenjeran, Surabaya, meninggal dunia saat antre di ICU RSUD Soewandhi Surabaya. Ia meninggal dunia pada Rabu 31/5.Peristiwa ini diketahui dari laporan warga ke Wakil Ketua DPRD Surabaya, Reni Astuti. Kondisi pasien itu mengharuskan dapat perawatan intensif di ICU, tapi saat itu ruang ICU penuh."Masuk laporan warga ada pasien yang kondisinya semakin buruk tapi enggak bisa masuk ICU karena penuh," ujar Reni saat dikonfirmasi, Jumat 2/6.Pasien sempat dirawat di ruang Instalasi Gawat Darurat IGD sembari menunggu ada ruang ICU yang kosong. Reni bilang pihak rumah sakit baru menyatakan ada ruang yang kosong ketika Reni menanyakannya, tapi pasien sudah meninggal dunia."Saya datang, saya konfirmasi direktur memang menyatakan penuh ICU. Tapi beberapa waktu terakhir itu infonya bisa masuk ICU tapi ketika mau masuk sudah meninggal. Itu pun ketika saya sudah di sana," Sempat Ingin Merujuk Pasien Ilustrasi ambulans. Foto ShutterstockSementara itu, anak korban, Yesi Setiawati, mengatakan kejadian ini berawal saat ibunya mengeluh sakit pada Sabtu 27/5. Lalu, keluarga membawanya ke puskesmas terdekat dan langsung dirujuk ke RSUD Soewandhi di rumah sakit, Asiasih langsung dimasukkan ke ruang IGD. Selama tiga hari dirawat, ibunya itu masih di IGD. Alasannya karena belum mendapatkan ruangan."Dikasih tahu kalau ibu saya harus dirawat inap tapi enggak ada kamar dan nunggu masih antre 17," kunjung mendapatkan kamar inap, Yesi pun berinisiatif untuk memindahkan ibunya ke rumah sakit lainnya. Tapi, pihak RSUD Soewandhi tak mengizinkannya. Bahkan, pihak rumah sakit mengancam mencabut BPJS Asiasih."Di awal enggak ditawari rujuk waktu kamar penuh. Enggak ada update kurang ini-ini. Saya inisiatif cari koneksi di luar untuk cari kamar," Senin 29/5, Yesi mendapatkan kabar bahwa ada kamar yang kosong. Namun, masih ada enam antrean lagi untuk bisa menempati kamar inap pada Selasa 30/5, kondisi ibunya itu sudah memburuk dan membutuhkan perawatan intensif. Pihak keluarga juga diminta untuk menandatangani penolakan rujukan."Pihak rumah sakit baru bilang harus dirujuk ke RS lain. Tapi RS bilang kalau dirujuk belum tentu dapat kamar dan step-nya harus mulai nol lagi," pihak keluarga terpaksa menunggu kamar ICU kosong. Pada Rabu 31/5, Wakil DPRD Surabaya, Reni Astuti mengunjungi RSUD Soewandhi untuk ada empat kamar ICU yang kosong dan di hari itu juga Asiasih mengembuskan napas terakhirnya."Pas ada Bu Reni, ICU kosong empat, tapi belum masuk ke ICU ibu saya meninggal," RSUD Soewandhi SurabayaDirektur Utama RSUD Soewandhi Surabaya, Billy Daniel Messakh buka suara soal kejadian memang membenarkan pada Sabtu 27/5, ruang ICU di RSUD Soewandhi sedang penuh. Namun, ia menyangkal soal pihak rumah sakit menolak pengajuan rujukan dari keluarga."Tanggal 27 Mei dia diterima di IGD Soewandhie. Pas dia datang, kamar kita sudah penuh. Karena penuh kami tawarkan rujuk," terangnya."Keluarga menolak. Setiap penuh SOP-nya kita tawarkan rujuk, kalau tolak harus tanda tangan penolakan," tambah mengungkapkan bahwa Asiasih juga telah mendapatkan perawatan oleh dokter penanggungjawab. Pasien itu juga dinyatakan mengalami gangguan pada paru-paru."Sekitar tanggal 30 Mei kita tawarkan masuk ICU. Karena penuh kembali kita tawarkan rujuk tapi anaknya menolak dan konfirmasi ke keluarga ditawari ICU," juga menyebut bahwa pihak rumah sakit telah menawarkan kepada pihak keluarga Asiasih untuk dirujuk di rumah sakit lain. Pihak keluarganya pun memilih untuk menunggu antrean di ruang ICU RSUD Soewandhi."29 Mei itu inden masuk ICU itu ke-6. Tanggal 31 Mei dia masuk inden pertama. Tapi karena kondisi tetap menurun, kita selalu tawarkan rujuk atau menunggu, dia mau. Sudah ada tempat di dalam," pungkasnya."Keluarga nggak ngasih tahu kenapa nggak mau dirujuk. Tapi kita punya beberapa temuan kalau masuk ICU di mana tempat pun pasti nambah minimal bahan habis pakai orang tuanya misal pampers, alat mandi, kalau di Soewandhi itu semua ditanggung Pemkot," tandasnya.
Kebijakanini diambil setelah kematian seluruh bangsal ICU selama akhir pekan yang tertangkap kamera. Al-Shorouk melaporkan bahwa setelah pertemuan antara Hala Zayed dan direktur rumah sakit,
Comment seront gĂ©rĂ©s les cadavres dans les vaisseaux spatiaux et les bases spatiales ? CrĂ©dit photo Shutterstock / oneinchpunch Bien que devenir astronaute soit le rĂȘve de tout enfant, il s’agit certainement de l’une des carriĂšres les plus dangereuses qui soient. Dans l’espace, mĂȘme un Ă©vĂšnement mineur peut entraĂźner des consĂ©quences graves, voire mortelles. Bref, les astronautes courent constamment un grand danger de leur dĂ©part jusqu’à leur retour sur la terre ferme. Mais que se passe-t-il si, par malheur, un astronaute trouve la mort en pleine mission ? C’est la question Ă  laquelle le journaliste français NorĂ©dine Benazdia a rĂ©cemment rĂ©pondu sur Twitter. L’hygiĂšne Ă  bord avant tout En fait, il existe plusieurs approches diffĂ©rentes que l’équipage peut adopter au cas oĂč il y aurait un dĂ©cĂšs Ă  bord du vaisseau spatial. Radiations mortelles, frappe d’un mĂ©tĂ©orite lors d’une sortie extravĂ©hiculaire, troubles engendrĂ©s par le manque de pesanteur
 nombreux sont les Ă©vĂšnements susceptibles d’entrainer la mort d’un astronaute. Si une personne subit une blessure mortelle, le reste de l’équipage devra prendre certaines prĂ©cautions pour Ă©viter une contamination en raison de la prĂ©sence de bactĂ©ries sur le cadavre. À cela s’ajoute le fait qu’un corps en dĂ©composition dĂ©gage une odeur nausĂ©abonde. Une forte dose de radiation peut entrainer de graves maladies, voire la mort », a dĂ©clarĂ© la NASA dans un rapport d’évaluation des risques encourus par les astronautes lors de missions spatiales. RĂ©duire le cadavre en miettes ? Ainsi, si l’astronaute dĂ©cĂšde lors d’une sortie extravĂ©hiculaire dans la Station spatiale internationale, le reste du groupe pourra laisser le corps Ă  l’intĂ©rieur de la combinaison spatiale et le mettre dans une piĂšce froide en attendant qu’il soit ramenĂ© vers la Terre Ă  bord d’une capsule. Congeler le corps pour ensuite le rĂ©duire en miette. CrĂ©dit photo Shutterstock / Christian Pichlkastner En 2005, la NASA a travaillĂ© avec la sociĂ©tĂ© suĂ©doise Promessa pour mettre au point la technique Body Back ». Il s’agit de l’approche la “plus efficace” apparemment. L’idĂ©e consiste Ă  glisser le cadavre dans un sac hermĂ©tique. Celui-ci est ensuite exposĂ© aux tempĂ©ratures glaciales de l’espace jusqu’à ce qu’il soit entiĂšrement congelĂ©. À l’aide d’une machine, l’équipage ferait vibrer le cadavre solidifiĂ© pour qu’il se brise en miettes avant de placer les fragments en lieu sĂ»r en attendant le rapatriement vers la Terre. Mais il s’agit pour l’heure d’une pure thĂ©orie. Une rĂ©glementation stricte Par ailleurs, au cas oĂč le dĂ©cĂšs serait survenu dans un monde lointain tel que Mars, l’idĂ©e consisterait Ă  y enterrer le dĂ©funt. Cette approche prĂ©sente toutefois un problĂšme, car il faut respecter la protection planĂ©taire qui consiste Ă  ne pas transporter des microbes sur une autre planĂšte. Dans ce cas, la voie de l’incinĂ©ration serait la meilleure. Bien que la maniĂšre la plus simple de se dĂ©barrasser d’un cadavre lors d’une mission spatiale soit simplement de le jeter dans l’espace, cela est totalement illĂ©gal. Selon une rĂ©glementation des Nations Unies, il est interdit de polluer l’espace avec des “dĂ©chets” de toutes sortes, y compris les restes humains. En plus d’ĂȘtre susceptibles d’entrer en collision avec des engins spatiaux, les corps sans vie qui trainent dans l’espace pourraient effectivement se diriger vers d’autres planĂštes, risquant ainsi de contaminer celles-ci. Tout ce qui touche de prĂšs ou de loin Ă  l'High-tech me fascine !

MenurutRiza, saat ini BOR bagi ruang isolasi dan ICU di RS rujukan Covid-19 masing-masing hanya terisi sekitar 50 persen dan 76 persen. "Mudah-mudahan beberapa hari ke depan turun lagi, kita doakan kerja semua pihak terkait dan instansi serta juga masyarakat dalam penanganan COVID-19 ini dan maridukung terus semua usaha untuk menurunkan

Bekerja di ruang intensif dapat menjadi trauma bagi tenaga keperawatan. Perawat ruang intensif berulangkali dihadapkan dengan keadaan kritis dan kematian pasien. Seringkali juga terlibat dalam merawat pasien dengan keadaan terminal, yang dimana kemungkinan pasien meninggal. Berbagai upaya perawat menghadapi permasalahan yang komplek di ruang intensif. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi ini bertujuan memperoleh informasi yang mendalam tentang pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan kondisi pasien krirtis di ruang intensif. Studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi digunakan dalam studi ini. Partisipan akan dipilih sesuai dengan kreteria penelitian, wawancara mendalam setelah mendapat persetujuan dari partisipan. Wawancara formal tidak berstruktur akan dilakukan sebanyak dua kali dan selanjutnya dilakukan analisa dengan teknik analisis spesifik dengan menggunakan pendekatan analisis selektif dan focusing. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 PROPOSAL RISET STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN PERAWAT DALAM MEMBERIKAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KRITIS DI RUANG INTENSIF Setiyo Adi Nugroho Universitas Nurul Jadid, setiyo Ringkasan Bekerja di ruang intensif dapat menjadi trauma bagi tenaga keperawatan. Perawat ruang intensif berulangkali dihadapkan dengan keadaan kritis dan kematian pasien. Seringkali juga terlibat dalam merawat pasien dengan keadaan terminal, yang dimana kemungkinan pasien meninggal. Berbagai upaya perawat menghadapi permasalahan yang komplek di ruang intensif. Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi ini bertujuan memperoleh informasi yang mendalam tentang pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan kondisi pasien krirtis di ruang intensif. Studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi digunakan dalam studi ini. Partisipan akan dipilih sesuai dengan kreteria penelitian, wawancara mendalam setelah mendapat persetujuan dari partisipan. Wawancara formal tidak berstruktur akan dilakukan sebanyak dua kali dan selanjutnya dilakukan analisa dengan teknik analisis spesifik dengan menggunakan pendekatan analisis selektif dan focusing. Kata kunci Perawat, Kritis, Ruang Intensif 2 Bab 1 Pendahuluan 1. Latar Belakang Akhir dari kehidupan adalah kematian, tidak akan bisa dihindari kematian bagi setiap manusia. Di Amerika Serikat, sekitar 2,5 juta orang meninggal setiap tahunnya, lebih dari 60% dari kematian ini terjadi di rumah sakit, dan setengah dari kematian tersebut terjadi di perawatan ICU Espinosa, Young, Symes, Haile, & Walsh, 2010. Sehingga, di Amerika Serikat menjadi perhatian yang paling utama dalam memberikan perawatan yang tepat bagi pasien kritis di rumah sakit Kirchhoff et al., 2000. Angka kematian diruang Intensif berkisar dari 15 sampai 30%, tergantung kasus yang terjadi. Selain itu, sekitar 20% pasien meninggal setelah keluar dari ruang ICU Whiteley, Bodenham, & Bellamy, 2010. Kematian yang terjadi diruang ICU bukanlah hal yang mudah, beberapa studi yang dikutip dari penelitian Beckstrand & Kirchhoff, 2005; Elpern, Covert, & Kleinpell, 2005 melaporkan merawat pasien yang kritis dan pasien yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya serta keluarga pasien menjadi factor stress bagi perawat dalam melakukan perawatan. Sementara itu, pemberi layanan kesehatan lainnya hanya berkunjung sesaat dan kemudian meninggalkan pasien. Permasalahan kematian di ruang intensif begitu komplek. Salah satu diantaranya dikarenakan sterilisasi lingkungan, sehingga kematian di ruang Intensif menjadi kematian yang tidak berperasaan Smith, 2000. Sementara menurut Dawson 2008 menyatakan bahwa tim perawatan kritis kurang siap dalam memberikan perawatan paliatif walaupun banyak pasien terminal yang memiliki gejala akut Sibbald, Downar, & Hawryluck, 2007. Dinyatakan oleh Faber-Langendoen dan Lanken 2000 Kurangnya perhatian perawatan paliatif care diruang intensif disebabkan Fokus perawatan di ruang intensif banyak digunakan dalam hal penyelamatan pasien cure seperti melakukan tindakan pemasangan ventilator dan resusitasi Stevens, Jackson, & Milligan, 2009. 3 Perawatan ruang Intensif sering kali memberikan pengobatan yang sia-sia, dimana hanya sedikit harapan pasien dapat sembuh Sibbald et al., 2007, Hadders 2007 menyatakan pengobatan yang sia-sia tersebut menyebabkan pasien meninggal dengan cara tidak bermartabat. Hal lainya juga, seringkali perawatan intensif melanggar integritas pasien dalam pengambilan keputusan medis Stevens et al., 2009. Bukan hanya kepada pasien melainkan juga kepada keluarga pasien Heyland, Rocker, O’Callaghan, Dodek, & Cook, 2003; Kirchhoff et al., 2002. Meninggal secara damai dan bermartabat merupakan tujuan utama dalam perawatan paliatif, untuk itu pentingnya asuhan keperawatan paliatif care di ruang intensif. Dalam melakukan perawatan paliatif di ruang Intensif, perawat sering mengalami konfik keyakinan sebagai penyedia layanan keperawatan mandiri dan advocad bagi pasien, dibandingkan peran perawat sebagai asisten yang hanya melaksanakan tindakan berdasarkan perintah dokter, pengalaman ini sering dialami dan dirasakan oleh perawat Calvin, Lindy, & Clingon, 2009. Berdasarkan sebuah studi Beckstrand & Kirchhoff, 2005; Elpern et al., 2005 Diantara petugas kesehatan yang lainnya, hanya perawat disamping pasien selama 24 jam, akan tetapi perawat merasakan distress moral dalam melakukan merawat pasien kritis. Tekanan moral perawat yang bekerja di unit perawatan intensif dianggap sebagai hal yang unik dan tidak proporsional dengan apa yang dialami perawat Elpern et al., 2005. Sejumlah penelitian telah melaporkan pengalaman-pengalaman perawat dalam memberikan asuhan perawatan paliatif di ruang intensif dari Negara Amerika dan Afrika selatan Calvin et al., 2009; Espinosa et al., 2010; Kirchhoff et al., 2000; Naidoo & MN, 2014. Sementara itu, di Indonesia masih sangat sedikit informasi tentang pengalaman perawat intensif dalam memberikan perawatan palitiatif diruang intensif. Sementara banyak penelitian keperawatan kepada pasien palliatif di lain ruang instensif, dengan berbagai permasalahan yang komplek diruang intensif tentunya berbeda dengan yang lain. 4 2. Rumusan Masalah Meneliti pengalaman perawat di ruang intensif dalam memberikan pelayanan perawatan paliatif pada pasien kritis sangatlah penting. Hal tersebut dikarenakan, bekerja di ruang intensif dapat menjadi trauma bagi tenaga keperawatan. Perawat ruang intensif berulangkali dihadapkan dengan keadaan kritis dan kematian pasien. Seringkali juga terlibat dalam merawat pasien dengan keadaan terminal, yang dimana kemungkinan pasien meninggal. Perawat ruang intensif seringkali mengalami stress dengan merawat pasien dengan keadaan kritis. Menurut Alspach 2006 ruang lingkup praktek keperawatan di ruang intensif diartikan adanya interaksi yang dinamis antara pasien dengan perawat, hal tersebut menyebabkan timbulnya emosi yang kuat seperti kemarahan, frustasi, ataupun tidak suka pada perawat Naidoo & MN, 2014. Kematian dan keadaan kritis pasien menyebabkan gangguan psikologis yang kompleks bagi perawat. seringnya berurusan dengan isu-isu mengerikan dan menyedihkan seperti kematian pasien dan keadaan yang kritis pasien merupakan tantangan tersendiri. Dan juga perawat sering dihadapkan dengan perasaan belum optimalnya tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan. Selain itu, belum banyaknya penelitian yang dilakukan di Indonesia tentang pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami keadaan kritis di ruang intensif. Padahal sejumlah penelitian di Amerika dan Afrika Selatan menjadi perhatian penelitian. Akan tetapi lain daerah lain permasalahan, dikarenakan berlainan lingkungan social dan budaya. Oleh karena itu, masalah penelitian ini dirumuskan dengan dua pertanyaan, yaitu 1 Apa pengalaman perawat dalam menghadapi kematian dan keadaan kritis pasien di ruang intensif ?. 2 Bagaimana tindakan tan perawat dalam menghadapi berbagai tantangan dalam memberikan asuhan keperawatan di ruang intensif? 3. Tujuan 1. Mendiskripsikan dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman serta apa yang terjadi pada perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dalam keadaan kritis di ruang intensif. 5 2. Mengungkapkan arti dari pengalaman perawat tersebut dalam menjalani selama memberikan asuhan keperawatan. 3. Memahami kebutuhan perawat di ruang intensif dan bagaimana perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan ada pasien dalam keadaan kritis. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat dalam memberikan wawasan, informasi dan pemahaman perawat khususnya perawat yang bertugas diruang intensif dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dalam keadaan kritis atau iruang intensif. Pada gilirannya studi ini memberikan pemahaman yang lebih luas dan dalam bagi perawat kritis maupun medical bedah tentang apa yang terjadi sebenarnya pada perawat dalam memberikan asuhan keperawatan diruang intensif dan bagaimana persepsi perawat tentang pemberian asuhan keperawatan pasien dengan keadaan kritis atau menghadapi kematian diruang intensif. 6 Bab 2 Tinjauan Literatur Kematian dan pasien sekarat di ruang ICU merupakan fenomena yang universal. Kematian dan sekarat adalah proses yang tak terelakkan dalam lingkungan ICU. Pasien dirawat di ICU bisa mati dari berbagai diagnosa atau komplikasi tersebut. Kematian di ICU kadang-kadang dapat tak terduga, ketika pasien meninggal mendadak setelah trauma, setelah sakit yang berlangsung lama, penarikan dukungan hidup atau sebagai akibat dari kematian otak Naidoo & MN, 2014. Penelitian yang dilakukan oleh Kirchhoff dan Beckstrand 2005 mengungkapkan bahwa sebagian besar pasien intensif, bergantung pada tenaga profesinal baik medis maupun paramedis untuk menjadi sumber kenyamanan dan informasi selama masa end of life. Penulis juga menyampaikan bahwa, tenaga medis maupun perawat merupakan komponen penting dalam perawatan end of life di ruang ICU Beckstrand & Kirchhoff, 2005. Kegiatan keperawatan di ICU menciptakan lingkungan yang penuh kasih, mendukung dan terapi untuk pasien, dengan tujuan utama adalah mempromosikan kenyamanan dan penyembuhan dan mencegah penderitaan yang tidak perlu.. Sehingga perawat berperan penting dalam pengambilan keputusan etis di ruang Instensif seperti meninggal dengan bermartabat, penghentian alat bantu hidup, dan masalah kualitas hidup pasien Naidoo & MN, 2014. Kematian di ruang Intensif dikenal sebagai kematian yang tidak berperasaan dikarenakan sterilisasi lingkungan Smith, 2000. Permasalahan lainnya yaitu perawatan ruang Intensif sering kali memberikan pengobatan yang sia-sia, dimana hanya sedikit harapan pasien dapat sembuh Sibbald et al., 2007, Hadders 2007 menyatakan pengobatan yang sia-sia tersebut menyebabkan pasien meninggal dengan cara tidak bermartabat. Hal lainya juga, seringkali perawatan intensif melanggar integritas pasien dalam pengambilan keputusan medis Stevens et al., 2009. Ada juga bukti dukungan yang buruk bagi keluarga pasien yang meninggal di ICU Kirchhoff et al., 2002 dan seringkali mereka tidak sepenuhnya terlibat dalam pengambilan keputusan pengobatan. Bahkan penelitian yang dilakukan Lind, Lorem, Nortvedt, & Hevroy, 2012 tanggapan 7 keluarga pasien penunggu merasa kesepian dan ketidakpastian dikarenakan perawat jarang komunikasi seperti kabur dari pertanyaan keluarga pasien. Sebuah studi yang dilakukan oleh Dracup dan Bryan-Brown 2005 2 pada kematian dan sekarat di ICU mengungkapkan bahwa masalah end of life di ICU di antara masalah yang paling serius yang dihadapi Nursing dan profesi medis. Sementara banyak perhatian terfokus pada perawatan kritis peran perawat untuk membantu orang lain pada akhir-of-life atau proses kematian, sedikit perhatian diberikan untuk perawatan perawat kritis psikologis, budaya, dan spiritual kesejahteraan ketika berhadapan dengan masalah kematian dan sekarat atau end-of-life Naidoo & MN, 2014. Dalam melakukan perawatan paliatif di ruang Intensif, perawat sering mengalami konfik keyakinan sebagai penyedia layanan keperawatan mandiri dan advocad bagi pasien, dibandingkan peran perawat sebagai asisten yang hanya melaksanakan tindakan berdasarkan perintah dokter, pengalaman ini sering dialami dan dirasakan oleh perawat Calvin et al., 2009. Senada penelitian yang dilakukan Espinosa et al., 2010 menyampaikan perawat mengalami hambatan dalam memberikan asuhan keperawatan di ruang intensive diantaranya kurangnya keterlibatan dalam rencana perawatan, potensial konflik antara model medis dan nursing, perselisihan dokter dengan tim kesehatan lainnya, masalalah pengobatan yang sia-sia pada pasien, harapan yang tidak realistic dari keluarga pasien, dan kurangnya pengalaman dan pendidikan. Asuhan Keperawatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menciptakan pengalaman untuk menghadapi kematian dengan damai peaceful end of life. Perawat melakukan pengkajian dan menginterpretasikan isyarat yang mereflesikan pengalaman seseorang dalam menghadapi kematian dan mengintervensi dengan tepat untuk memperoleh atau mempertahankan pengalaman yang damai. Bahkan sekalipun pasien yang akan menghadapi kematian dengan keadaan tidak dapat komunikasi verbal. Menurut salah satu ahli teori keperawatan Shirley M. Moore, teori Peaceful End Of Life, menyatakan bahwa perawat integral akhir dari ketenangan hidup meliputi, kebebasan dari sakit, dukungan emosional, kedekatan dan keikutsertaan pada kenyataan lain yang berpengaruh, dan perlakuan dengan empati dan hormat Alligood, 2014. 8 Perawat perlu memainkan peran dalam memberikan perawatan pada pasien sekarat maupun menjelang kematian di ruang intensif. hal ini dikemukakan Adams, Bailey, Anderson, & Docherty, 2011 ada tiga peranan penting dalam perawatan end of life diruang intensif yaitu perantara informasi, supporter, dan tetapi sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dipaparkan diatas banyak hal fenomena hambatan perawat dalam memainkan peranannya dalam memberikan asuhan keperawatanya. Banyak penelitian yang dilakukan diluar negeri baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Di Indonesia belum ditemukan perenelitian terkait. Penting dilakukan penelitian pengalaman di Indonesia terkait dengan pengalaman perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pasien dengan menghadapi kematian diruang Intensif. 9 Bab 3 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman hidup yang dilihat dari sudut pandang orang yang diteliti Creswell, 2014. Dalam studi ini yang dipelajari pengalaman perawat intensif dalam memberikan asuhan keperawatan pasien keadaan kritis dan menghadapi kematian pasien intensif. metode ini menitikberatkan pada arti kematian dan keadaan kritis pasien bagi perawat. Sedangkan fenomena yang mendasarinya seringnya perawat diruang intensif terpapar dengan keadaan pasien yang kritis dan menghadapi kematian pasien, menjadi tekanan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Dengan pendekatan fenomenologi diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang perawat dalam menghadapi keadaan kritis dan kematian di ruang intensif. Melalui pendekatan ini juga, peneliti mampu memahami makna dari tindakan perawat dalam menghadapi keadaan kritis dan kematian di ruang intensif. 1. Partisipan Metode dengan fenomenologi memungkinkan peneliti menyeleksi karakteristik partisipan yang heterogen untuk lebih memperdalam pemahaman terhadap fenomena yang diteliti Afiyanti & Rachmawati, 2014; Creswell, 2014. Rekrutmen partisipan dilakukan dengan cara purposive sampling Creswell, 2014. Kreteria penelitian ini adalah a. Perawat di ruang intensif yang telah bekerja lebih dari 1 tahun b. Dapat menceritakan dengan lancar tentang pengalaman selama memberikan asuhan Keperawatan kepada pasien yang menghadapi kematian dan kritis diruang intensif. Streubert & Carpenter 1999 berpendapat kreteria ini penting dipenuhi oleh partisipan untuk tujuan penyampaian pengetahuan dan informasi tentang fenomena yang ada Afiyanti & Rachmawati, 2014 c. Menjadi perawat tetap di ruang intensif RSU. Dr. Moh. Saleh Probolinggo dan menyatakan kesediaanya untuk ikut terlibat dalam studi ini. 10 Focus penelitian kualitatif pada kedalaman dan proses, jumlah partisipan pada penelitian ini 3-15 partisipan sampai terkumpul data yang jenuh atau data yang telah tersaturasi. Semua partisipan dapat berperan serta dari awal pengambilan data sampai selesai penelitian dan tidak ada partisipan yang mengundurkan diri Creswell, 2014. Untuk memilih partisipan, peneliti dibantu oleh Kepala Ruangan Intensif. Kepala ruangan bertanggung jawab kepada para calon partisipan untuk menerangkan secara singkat tentang studi ini. Juga menanyakan tentang persetujuan mereka untuk ikut dalam studi ini. Kemudian kepala ruangan memberikan nama-nama calon partisipan dan menunjukan kepada peneliti. Setelah itu peneliti menjalin hubungan kedekatan dengan para calon partisipan dengan melakukan kunjungan di ruangan. Peneliti menerangkan secara terperinci tentang studi yang dilakukan dan meminta persetujuan mereka untuk ikut dalam studi ini termasuk izin merekam. Seluruh pernyataan partisipan dengan mendapatkan tanda tangan mereka pada lembar persetujuan mengikuti penelitian ini. Peneliti menjawab jika terdapat pertanyaan yang diajukan partisipan. Selanjutnya, para partisipan diminta peneliti untuk menentukan waktu dan tempat untuk melakukan wawancara sesuai dengan keinginan mereka dengan tujuan membuat mereka nyaman ketika menceritakan pengalaman-pengalaman mereka. 2. Proses Pengumpulan Data Data dari studi ini dikumpulakan melalui wawancara yang mendalam dengan partisipan. Wawancara formal tidak berstruktur digunakan sebagai metode utama pengumpulan data. Hal ini merupakan metode pengumpulan data yang sesuai dalam studi fenomenologi. Dengan pertanyaan-pertanyaan spesifik dari studi ini yang tidak berstruktur, peneliti dan para partisipan berada pada suatu diskusi yang tidak berstruktur dalam usaha untuk lebih memperjelas suatu arti dari suatu pengalaman Afiyanti & Rachmawati, 2014. Peneliti melakukan wawancara dengan tiap partisipan sebanyak dua kali. Peneliti membantu para partisipan dalam mendiskripsikan pengalaman-pengalaman mereka 11 tanpa memimpin diskusi tersebut. untuk meningkatkan akurasi pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik wawancara terbuka-tertutup, merekam wawancara, dan membuat transkrip verbatim kata demi kata. Sebagai tambahan, peneliti juga membuat catatan lapangan field notes. Sebelum melakukan wawancara, data demografi partisipan dikumpulkan. Informasi ini berguna untuk memberikan gambaran singkat tentang pastisipan. Selain itu juga, peneliti berusaha mensuppresi segala hal yang diketahui dan dialami tentang peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pasien kondisi kritis bracketing process. Wawancara pertama dirancang untuk mendapatkan berbagai perasaan dan pikiran partisipan berkaitan dengan pengalamannya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan keadaan kritis atau menjelang kematian pasien di ruang intensif. Mula-mula partisipan diberikan kesempatan untuk mendiskripsikan pengalaman-pengalaman mereka tanpa instrupsi. Jika diperlukan, peneliti mengunakan pertanyaan-pertanyaan sesuai pedoman wawancara untuk membantu partisipan lebih memfokuskan aspek-aspek penting dari pengalamannya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibuat peneliti berpedoman pada berbagai literature yang ada, dan aspek penting untuk mendapatkan suatu pengalaman pribadi seseorang berhubungan dengan studi fenomenologi van manen, 1997 dalam Afiyanti & Rachmawati, 2014. Wawancara ini memerlukan waktu sekitar 60-90 menit. Para pastisipan diwawancara secara pribadi dan semua wawancara akan direkam atas izin dari partisipan, lalu hasil wawancara tersebut dibuat dalam bentuk suatu transkrip wawancara yaitu dalam bentuk diskripsi tekstual untuk digunakan dalam analisis data. Selama wawancara peneliti juga membutuhkan untuk mengadopsi perilaku terbuka, berparsipasi, dan memiliki rasa empati kepada partisipan, tujuannya memperoleh berbagai pengetahuan yang nyata dari berbagai pengalaman partisipan dan dapat membantu memberikan bimbingan kepada partisipan dalam mendiskripsikan pengalamannya. Wawancara kedua dilakukan setelah semua data dari hasil wawancara pertama dibuat dalam suatu transkrip data dan peneliti telah mengidentifikasi kemungkinan berbagai tema sementara dari berbagai pengalaman yang didiskripsikan para 12 partisipan. Selama wawancara ini, partisipan diminta untuk mengkonfirmasi tema-tema yang sementara dihasilkan berhubungan dengan pengalaman mereka berdasarkan hasil interpretasi data yang dibuat peneliti, dan pada kesempatan ini pula peneliti dapat membuat perbaikan atau koreksi jika terdapat gap dari data yang diperoleh pada wawancara pertama. Sebagai tambahan, wawancara kedua juga penting dilakukan untuk memberikan kesempatan pada para partisipan melakukan verifikasi, memperluas dan menambahkan keakuratan data dari studi ini. Pada saat ini pula para partisipan dapat menambahkan deskripsi tentang berbagai pengalaman mereka setelah wawancara pertama. Wawancara kedua memerlukan waktu sekitar 60 menit dan dengan ijin partisipan, semua wawancara kedua direkam. Untuk kompilasi dan verifikasi data, peneliti mendengarkan hasil rekaman wawancara sambil membacakan hasil transkrip untuk keakuratan dan memberikan koreksi jika terdapat kesalahan. Langkah ini membantu peneliti untuk lebih mengenal diri peneliti sendiri dan memulai untuk menyenangi hasil data ynag telah diperoleh peneliti Streubert & Carperter, 1999 dalam Afiyanti & Rachmawati, 2014. 3. Analisis Data Analisis data dilakukan setiap selesai mengumpulkan data dari satu partisipan. Hasil analisis dapat mengarahkan pada proses selanjutnya. Transkrip-transkrip dari hasil wawancara dan catatan-catatan lapangan field notes yang telah dibuat peneliti secara bersamaan dianalisis. Teknik analisis spesifik dengan menggunakan pendekatan analisis selektif dan focusing the selective or highlighting approach yang telah di uraikan oleh seorang fenomenologis, Van Manen 1997, telah digunakan dalam analisis studi ini untuk mengungkap dan mengisolasikan berbagai aspek tematik dari fenomena-fenomena yang disoroti dalam studi ini. Teknik ini dimulai dengan mendengarkan bernagai diskripsi verbal partisipan dari hasil rekaman yang diperoleh dan diikuti dengan membaca tiap teks-teks tersebut secara berulang-ulang secara seksama. Setelah itu peneliti mencari, menentukan, dan menggarisbawahi pernyataan-pernyataan atau prase-prase yang signifikan, yang tampaknya menjadi essense-essense spesifik yang mengandung arti dalam mewakili deskripsi para partisipan dari pengalaman atau fenomena memberikan asuhan 13 keperawatan kritis diruang intensive. Kemudian peneliti menentukan hubungan tema-tema esensial di antara pernyataan-pernyataan yang signifikan dari pengalaman-pengalaman para partisipannya. Sebagai langkah terakhir, peneliti mempersiapkan tema-tema esensial yang merupakan suatu deskripsi paling terakhir dari fenomena yang terjadi an exhaustive description of the phenomenom yang menentukan deskripsi paling sempurna pengalaman-pengalaman para partisipan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien sekarat dan meghadapi kematian diruang intensif. Alur analisis data dengan teknik analisis spesifik dengan menggunakan pendekatan analisis selektif dan focusing The selective or highlighting approach dai vanManen 1997 dalam Afiyanti & Rachmawati, 2014. 14 DAFTAR PUSTAKA Adams, J. a., Bailey, D. E., Anderson, R. a., & Docherty, S. L. 2011. Nursing Roles and Strategies in End-of-Life Decision Making in Acute Care A Systematic Review of the Literature. Nursing Research and Practice, 2011, 1–15. doi Afiyanti, Y., & Rachmawati, I. N. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Riset Keperawatan 1st ed.. Jakarta Rajawali Pers. Alligood, M. R. 2014. Nursing Theorists and Their Work 8th ed.. St. Louis, Missouri Mosby Elsevier Inc. Beckstrand, R. L., & Kirchhoff, K. T. 2005. PROVIDING END - OF -LIFE CARE TO PATIENTS Critical Care Nurse’ Perceived Obstacles and Supportive Behaviors. American Journal of Critical Care, 145, 395–403. Calvin, A. O., Lindy, C. M., & Clingon, S. L. 2009. The cardiovascular intensive care unit nurse’s experience with end-of-life care a qualitative descriptive study. Intensive & Critical Care Nursing The Official Journal of the British Association of Critical Care Nurses, 254, 214–20. doi Elpern, E. H., Covert, B., & Kleinpell, R. 2005. MORAL DISTRESS OF STAFF NURSES IN A MEDICAL INTENSIVE CARE UNIT. American Journal of Critical Care, 146, 523. Espinosa, L., Young, A., Symes, L., Haile, B., & Walsh, T. 2010. ICU Nurses ’ Experiences in Providing Terminal Care. Critical Care Nurs Q, 333, 273–281. Heyland, D. K., Rocker, G. M., O’Callaghan, C. J., Dodek, P. M., & Cook, D. J. 2003. Dying in the ICU Perspectives of family members. Chest, 1241, 392. Kirchhoff, K. T., Spuhler, V., Walker, L., Hutton, A., Cole, B. V., & Clemmer, T. 2000. Intensive care nurses ’ experiences with end-of-life care. American Journal of Critical Care, 91, 36. Kirchhoff, K. T., Walker, L., Hutton, A., Spuhler, V., Cole, B. V., & Clemmer, T. 2002. The vortex Families ’ experiences with death in the intensive care unit. American Journal of Critical Care, 11May, 200. Lind, R., Lorem, G. F., Nortvedt, P., & Hevroy, O. 2012. Intensive care nurses’ involvement in the end-of-life process - perspectives of relatives. Nursing Ethics, 195, 666–676. doi 15 Naidoo, V., & MN, S. 2014. Experiences of Critical Care Nurses of Death and Dying in an Intensive Care Unit A Phenomenological Study. Journal of Nursing & Care, 0304. doi Sibbald, R., Downar, J., & Hawryluck, L. 2007. Perception of “futile care” Among Caregiver in Intensive Care Unit. Canadian Medical Association, 17710, 1–9. Smith, R. 2000. A good death. British Medical Jurnal, 320, 129. Stevens, E., Jackson, S., & Milligan, S. 2009. Paliative Nursing; Across the Spectrum of Care first.. Blackwell Publishing Ltd. Whiteley, S. M., Bodenham, A., & Bellamy, M. C. 2010. Intensive Care 3rd ed.. elsevier limited. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this this article, we report findings from a qualitative study that explored how the relatives of intensive care unit patients experienced the nurses' role and relationship with them in the end-of-life decision-making processes. In all, 27 relatives of 21 deceased patients were interviewed about their experiences in this challenging ethical issue. The findings reveal that despite bedside experiences of care, compassion and comfort, the nurses were perceived as vague and evasive in their communication, and the relatives missed a long-term perspective in the dialogue. Few experienced that nurses participated in meetings with doctors and relatives. The ethical consequences imply increased loneliness and uncertainty, and the experience that the relatives themselves have the responsibility of obtaining information and understanding their role in the decision-making process. The relatives therefore felt that the nurses could have been more involved in the objective of this paper is to analyze the literature concerning nurses' roles and strategies in EOL decision making in acute care environments, synthesize the findings, and identify implications for future research. We conducted searches in CINAHL and PubMed, using a broad range of terms. The 44 articles retained for review had quantitative and qualitative designs and represented ten countries. These articles were entered into a matrix to facilitate examining patterns, themes, and relationships across studies. Three nursing roles emerged from the synthesis of the literature information broker, supporter, and advocate, each with a set of strategies nurses use to enact the roles. Empirical evidence linking these nursing roles and strategies to patients and family members outcomes is lacking. Understanding how these strategies and activities are effective in helping patients and families make EOL decisions is an area for future research. Renea L BeckstrandKarin T KirchhoffCritical care nurses care for dying patients daily. The process of dying in an intensive care unit is complicated, and research on specific obstacles that impede delivery of end-of-life care and/or supportive behaviors that help in delivery of end-of-life care is limited. To measure critical care nurses' perceptions of the intensity and frequency of occurrence of 1 obstacles to providing end-of-life care and 2 supportive behaviors that help in providing end-of-life care in the intensive care unit. An experimental, posttest-only, control-group design was used. A national, geographically dispersed, random sample of members of the American Association of Critical-Care Nurses was surveyed. The response rate was 864 usable responses from 1409 eligible respondents. The highest scoring obstacles were frequent telephone calls from patients' family members for information, patients' families who did not understand the term lifesaving measures, and physicians disagreeing about the direction of a dying patient's care. The highest scoring supportive behaviors were allowing patients' family members adequate time alone with patients after death, providing peaceful and dignified bedside scenes after death, and teaching patients' families how to act around a dying patient. The biggest obstacles to appropriate end-of-life care in the intensive care unit are behaviors of patients' families that remove nurses from caring for patients, behaviors that prolong patients' suffering or cause patients pain, and physicians' disagreement about the plan of StevensS. JacksonS. MilliganPalliative Nursing is an evidence-based practical guide for nurses working in areas of practice where general palliative care is provided. This may be in hospitals, nursing homes, dementia units, the community and any other clinical areas which are not classified as specialist palliative care. This book first explores the history and ethos of palliative care, and then looks at palliative nursing across various care settings. It then looks at palliative nursing care for people with specific illnesses, including heart failure, dementia, chronic obstructive pulmonary disease, cancer, and neurological conditions. Palliative care for children and young people is discussed, and then the book finally looks at education and research in palliative nursing. Palliative Nursing will be essential reading for all nurses working with palliative care patients in a non specialist role, in hospitals, primary care and nursing homes, as well as nursing students. SPECIAL FEATURES. Explores the palliative nursing issues related to specific diseases groups. Written in the context of the new national tools, the end of life initiative, preferred place of care, Liverpool care pathway and Gold standards framework. Each chapter includes practice points and cases to allow the practitioner to undertake guided reflection to improve practice. Written by nurses for nurses. Provides guidance for nurses working in all four countries of the least 1 in 5 Americans die while using intensive care service-a number that is expected to increase as society ages. Many of these deaths involve withholding or withdrawing life-sustaining therapies. In these situations, the role of intensive care nurses shifts from providing aggressive care to end-of-life care. While hospice and palliative care nurses typically receive specialized support to cope with death and dying, intensive care nurses usually do not receive this support. Understanding the experiences of intensive care nurses in providing care at the end of life is an important first step to improving terminal care in the intensive care unit ICU. This phenomenological research study explores the experiences of intensive care nurses who provide terminal care in the ICU. The sample consisted of 18 registered nurses delivering terminal care in an ICU that participated in individual interviews and focus groups. Colaizzi's steps for data analysis were used to identify themes within the context of nursing. Three major themes consisted of 1 barriers to optimal care, 2 internal conflict, and 3 coping. Providing terminal care creates significant personal and professional struggles among ICU nurses. Amy O CalvinCheryl M LindyStefanie L ClingonNurses in the cardiovascular intensive care unit CVICU informally expressed moral angst when caring for patients who are approaching the end of life. The purpose of this study was to better understand CVICU nurses' perceptions about their roles and responsibilities in the decision-making process about change in intensity of care and end-of-life care for patients within the CVICU setting. Nineteen nurses from one CVICU consented to being interviewed individually regarding their experiences caring for patients approaching the end of life, and specifically regarding the initiation of a change in code status. Investigators used a qualitative descriptive approach to collect and analyse the data. Transcript data were analysed and as concepts emerged they were compared with those from earlier interviews to establish similarities and differences. Investigators reached consensus about the major themes. Analysis revealed four major themes a exhausting patient treatments; b promoting family presence; c acknowledging physician authority; and d walking a fine line. This research adds to the limited body of knowledge concerning CVICU nurses' experiences with end-of-life care. Results of this study provide a basis for putting in place support systems for CVICU T KirchhoffVicki J. SpuhlerL Walker Terry ClemmerWith much attention being focused on how patients die and whether or not they are provided appropriate care, the care of dying patients in intensive care units must be described and improved. To describe end-of-life care in intensive care units as perceived by critical care nurses who have taken care of dying patients. A semistructured interview guide was developed and revised after pretesting in a focus group of faculty clinicians with extensive, recent experience in intensive care. Four focus groups were held with randomly selected nurses from 4 intensive care units in 2 hospitals; participants had 2 years or more of experience and were working half-time or more. Tapes from each focus group were transcribed and reviewed by the investigators before the subsequent group met. Category labels were developed, and topics and themes were determined. "Good" end-of-life care in the intensive care unit was described as ensuring that the patient is as pain-free as possible and that the patient's comfort and dignity are maintained. Involvement of the patient's family is crucial. A clear, accurate prognosis and continuity of care also are important. Switching from curative care to comfort care is awkward. Disagreement among patients' family members or among caregivers, uncertainty about prognosis, and communication problems further complicate end-of-life care in intensive care units. Changes in the physical environment, education about end-of-life care, staff support, and better communication would improve care of dying patients and their T KirchhoffLee WalkerAnn Hutton Terry ClemmerLack of communication from healthcare providers contributes to the anxiety and distress reported by patients' families after a patient's death in the intensive care unit. To obtain a detailed picture of the experiences offamily members during the hospitalization and death of a loved one in the intensive care unit. A qualitative study with 4 focus groups was used. All eligible family members from 8 intensive care units were contacted by telephone; 8 members agreed to participate. The experiences of the family members resembled a vortex a downward spiral of prognoses, difficult decisions, feelings of inadequacy, and eventual loss despite the members' best efforts, and perhaps no good-byes. Communication, or its lack, was a consistent theme. The participants relied on nurses to keep informed about the patients' condition and reactions. Although some participants were satisfied with this information, they wishedfor more detailed explanations ofprocedures and consequences. Those family members who thought that the best possible outcome had been achieved had had a physician available to them, options for treatment presented and discussed, andfamily decisions honored. Uncertainty about the prognosis of the patient, decisions that families make before a terminal condition, what to expect during dying, and the extent of a patient s suffering pervade families' end-of-life experiences in the intensive care unit. Families' information about the patient is often lacking or inadequate. The best antidote for families' uncertainty is effective K HeylandGraeme RockerChristopher J O'CallaghanDeborah CookTo describe the perspectives of family members to the care provided to critically ill patients who died in the ICU. Multicenter, prospective, observational study. Six university-affiliated ICUs across Canada. Patients who received mechanical ventilation for > 48 h and who died in the ICU were eligible for this study. Three to four weeks after the patient's death, we mailed a validated questionnaire to one selected family member who made at least one visit to the patient in the ICU. We obtained self-rated levels of satisfaction with key aspects of end-of-life care, communication, and decision making, and the overall ICU experience. Main results Questionnaires were mailed to 413 family members; 256 completed surveys were returned response rate, In the final hours before the death of the patient, family members reported that patients were "totally comfortable" "very comfortable" or "mostly comfortable" Family members felt "very supported" and "supported" by the health-care team. Most believed that the patient's life was neither prolonged nor shortened unnecessarily. Most family members preferred some form of shared decision making. Overall, 52% of families rated their satisfaction with care as "excellent," 31% rated care as "very good," 10% as "good," 4% as "fair," and 2% as "poor." Overall satisfaction with end-of-life care was significantly associated with completeness of information received by the family member, respect and compassion shown to patient and family member, and satisfaction with amount or level of health care received. The majority of families of patients who died in participating ICUs were satisfied with the end-of-life care provided. Adequate communication, good decision making, and respect and compassion shown to both the dying patient and their family are key determinants to family satisfaction.
Kalaitu, korban bernama Falya Raafan Blegur, anak kedua pasangan Ibrahim Blegur dan Eri Kusrini meninggal akibat dugaan malpraktik yang dilakukan oleh salah seorang dokter di Rumah Sakit Awal Bros, Bekasi. Falya sempat dirawat di ruang ICU sejak Kamis, 29 Oktober 2015, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terkahir pada Minggu 1 November 2015.

ï»żBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep ICU Definisi ICU ICU Intensive Care Unit adalah ruang rawat di rumah sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya Rab,2007. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah sakit, ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri instalasi di bawah direktur pelayanan, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang di tujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit,cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia. Universitas Sumatera Utara Pembagian ICU berdasarkan kelengkapan Berdasarkan kelengkapan penyelenggaraan maka ICU dapat dibagi atas tiga tingkatan. Yang pertama ICU tingkat I yang terdapat di rumah sakit kecil yang dilengkapi dengan perawat, ruangan observasi, monitor, resusitasi dan ventilator jangka pendek yang tidak lebih dari 24 jam. ICU ini sangat bergantung kepada ICU yang lebih besar. Kedua, ICU tingkat II yang terdapat pada rumah sakit umum yang lebih besar di mana dapat dilakukan ventilator yang lebih lama yang dilengkapi dengan dokter tetap, alat diagnosa yang lebih lengkap, laboratorium patologi dan fisioterapi. Yang ketiga, ICU tingkat III yang merupakan ICU yang terdapat di rumah sakit rujukan dimana terdapat alat yang lebih lengkap antara lain hemofiltrasi, monitor invasif termasuk kateterisasi dan monitor intrakranial. ICU ini dilengkapi oleh dokter spesialis dan perawat yang lebih terlatih dan konsultan dengan berbagai latar belakang keahlian Rab, 2007. Terdapat tiga kategori pasien yang termasuk pasien kritis yaitu kategori pertama, pasien yang di rawat oleh karena penyakit kritis meliputi penyakit jantung koroner, respirasi akut, kegagalan ginjal, infeksi, koma non traumatik dan kegagalan multi organ. Kategori kedua, pasien yang di rawat yang memerlukan propilaksi monitoring oleh karena perubahan patofisiologi yang cepat seperti koma. Kategori ketiga, pasien post operasi mayor. Apapun kategori dan penyakit yang mendasarinya, tanda-tanda klinis penyakit kritis biasanya serupa karena tanda-tanda ini mencerminkan gangguan pada fungsi pernafasan, kardiovaskular, dan neurologi Nolan et al. 2005. Tandatanda klinis ini umumnya adalah takipnea, takikardia, hipotensi, gangguan Universitas Sumatera Utara kesadaran misalnya letargi, konfusi / bingung, agitasi atau penurunan tingkat kesadaran Jevons dan Ewens, 2009. Sistem pelayanan ruang ICU Penyelenggaraan pelayanan ICU di rumah sakit harus berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di rumah sakit. Pelayanan ICU di rumah sakit meliputi beberapa hal, yang pertama etika kedokteran dimana etika Pelayanan di ruang ICU harus berdasarkan falsafah dasar "saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal, memperbaiki kondisi kesehatan pasien. Kedua, indikasi yang benar dimana pasien yang di rawat di ICU harus pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care, pasien yangmemerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi, dan pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis. Ketiga, kerjasama multidisipliner dalam masalah medis kompleks dimana dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang di pimpin oleh seorang dokter intensivis sebagai ketua tim. Keempat, kebutuhan pelayanan kesehatan pasien dimana kebutuhan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital Universitas Sumatera Utara seperti Airway fungsi jalan napas, Breathing fungsi pernapasan, Circulation fungsi sirkulasi, Brain fungsi otak dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif. Kelima, peran koordinasi dan integrasi dalam kerja sama tim dimana setiap tim multidisiplin harus bekerja dengan melihat kondisi pasien misalnya sebelum masuk ICU, dokter yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau usulan terapi kemudian kepala ICU melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya serta berkonsultasi dengan konsultan lain dan mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim. Keenam, asas prioritas yang mengharuskan setiap pasien yang dimasukkan ke ruang ICU harus dengan indikasi masuk ke ruang ICU yang benar. Karena keterbatasan jumlah tempat tidur ICU, maka berlaku asas prioritas dan indikasi masuk. Ketujuh, sistem manajemen peningkatan mutu terpadu demi tercapainya koordinasi dan peningkatan mutu pelayanan di ruang ICU yang memerlukan tim kendali mutu yang anggotanya terdiri dari beberapa disiplin ilmu, dengan tugas utamanya memberi masukan dan bekerja sama dengan staf struktural ICU untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan ICU. Kedelapan, kemitraan profesi dimana kegiatan pelayanan pasien di ruang ICU di samping multi disiplin juga antar profesi seperti profesi medik, profesi perawat dan profesi lain. Agar dicapai hasil optimal maka perlu peningkatan mutu SDM Sumber Daya Manusia secara berkelanjutan, menyeluruh dan mencakup semua profesi. Kesembilan, efektifitas, keselamatan dan ekonomis dimana unit pelayanan di ruang ICU mempunyai biaya Universitas Sumatera Utara dan teknologi yang tinggi, multi disiplin dan multi profesi, jadi harus berdasarkan asas efektifitas, keselamatan dan ekonomis. Kesepuluh, kontuinitas pelayanan yang ditujukan untuk efektifitas, keselamatan dan ekonomisnya pelayanan ICU. Untuk itu perlu di kembangkan unit pelayanan tingkat tinggi High Care Unit =HCU. Fungsi utama. HCU adalah menjadi unit perawatan antara dari bangsal rawat dan ruang ICU. Di HCU, tidak diperlukan peralatan canggih seperti ICU tetapi yang diperlukan adalah kewaspadaan dan pemantauan yang lebih tinggi. Unit perawatan kritis atau unit perawatan intensif ICU merupakan unit rumah sakit di mana klien menerima perawatan medis intensif dan mendapat monitoring yang ketat. ICU memilki teknologi yang canggih seperti monitor jantung terkomputerisasi dan ventilator mekanis. Walaupun peralatan tersebut juga tersedia pada unit perawatan biasa, klien pada ICU dimonitor dan dipertahankan dengan menggunakan peralatan lebih dari satu. Staf keperawatan dan medis pada ICU memiliki pengetahuan khusus tentang prinsip dan teknik perawatan kritis. ICU merupakan tempat pelayanan medis yang paling mahal karena setiap perawat hanya melayani satu atau dua orang klien dalam satu waktu dan dikarenakan banyaknya terapi dan prosedur yang dibutuhkan seorang klien dalam ICU Potter & Perry, 2009. Pada permulaannya perawatan di ICU diperuntukkan untuk pasien post operatif. Akan tetapi setelah ditemukannya berbagai alat perekam monitor dan penggunaan ventilator untuk mengatasi pernafasan maka ICU dilengkap pula dengan monitor dan ventilator. Disamping itu dengan metoda dialisa pemisahan Universitas Sumatera Utara racun pada serum termasuk kadar ureum yang tinggi maka ICU dilengkapi pula dengan hemodialisa. Pada prinsipnya alat dalam perawatan intensif dapat di bagi atas dua yaitu alat-alat pemantau dan alat-alat pembantu termasuk alat ventilator, hemodialisa dan berbagai alat lainnya termasuk defebrilator. Alat-alat monitor meliputi bedside dan monitor sentral, ECG, monitor tekanan intravaskuler dan intrakranial, komputer cardiac output, oksimeter nadi, monitor faal paru, analiser karbondioksida, fungsi serebral/monitor EEG, monitor temperatur, analisa kimia darah, analisa gas dan elektrolit, radiologi X-ray viewers, portable X-ray machine, Image intensifier, alat-alat respirasi ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi airway control equipment, resusitator otomatik, fiberoptik bronkoskop, dan mesin anastesi Rab, 2007. Peralatan unit kerja di ICU/ICCU yang begitu beragam dan kompleks serta ketergantungan pasien yang tinggi terhadap perawat dan dokter karena setiap perubahan yang terjadi pada pasien harus di analisa secara cermat untuk mendapat tindakan yang cepat dan tepat membuat adanya keterbatasan ruang gerak pelayanan dan kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga biasanya dibatasi dalam hal waktu kunjungan biasanya dua kali sehari, lama kunjungan berbeda-beda pada setiap rumah sakit dan jumlah pengunjung biasanya dua orang secara bergantian. Selain itu ICU juga merupakan tempat yang sering memberikan respon kekhawatiran dan kecemasan pasien dan keluarga mereka karena kritisasi kondisi yang belum stabil. Diharapkan bahwa dengan memperhatikan kebutuhan baik Universitas Sumatera Utara pasien maupun keluarga, rumah sakit dapat menciptakan lingkungan yang saling percaya dan mendukung dimana keluarga sebagai bagian integral dari perawatan pasien dan pemulihan pasien secara utuh. Kvale, 2011. Perawat ICU Seorang perawat yang bertugas di ICU melaksanakan tiga tugas utama yaitu, life support, memonitor keadaan pasien dan perubahan keadaan akibat pengobatan dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Oleh karena itu diperlukan satu perawat untuk setiap pasien dengan pipa endotrakeal baik dengan menggunakan ventilator maupun yang tidak. Di Australia diklasifikasikan empat kriteria perawat ICU yaitu, perawat ICU yang telah mendapat pelatihan lebih dari duabelas bulan ditambah dengan pengalaman, perawat yang telah mendapat latihan sampai duabelas bulan, perawat yang telah mendapat sertifikat pengobatan kritis critical care certificate, dan perawat sebagai pelatih trainer Rab, 2007. Di Indonesia, ketenagaan perawat di ruang ICU di atur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit yaitu, untuk ICU level I maka perawatnya adalah perawat terlatih yang bersertifikat bantuan hidup dasar dan bantuan lanjut, untuk ICU level II diperlukan minimal 50% dari jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat ICU, dan untuk ICU level III diperlukan minimal 75% dari jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat ICU. Universitas Sumatera Utara 2. Konsep keluarga Definisi keluarga Istilah keluarga akan menghadirkan gambaran adanya individu dewasa dan anak yang hidup bersama secara harmonis dan memuaskan. Bagi lainnya, istilah ini memiliki arti yang berlawanan. Keluarga bukan sekedar gabungan dari beberapa individu Astedt Kurki, et al.,2001. Keluarga memiliki keragaman seperti anggota individunya dan seorang pasien memiliki nilai-nilai tersendiri mengenai keluarganya Potter & Perry, 2009 Banyak ahli mendefenisikan tentang keluarga sesuai dengan perkembangan sosial di masyarakat. Hal ini bergantung pada orientasi yang digunakan dan orang yang mendefenisikannya. Friedman 1998 mendefenisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masingmasing yang merupakan bagian dari keluarga. Pakar konseling keluarga dari Yogyakarta, Sayekti 1994 menulis bahwa keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau anak adopsi, dan tingggal dalam sebuah rumah tangga. Menurut UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami- istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Ketiga pengertian tersebut mempunyai persamaan bahwa dalam keluarga terdapat ikatan perkawinan dan Universitas Sumatera Utara hubungan darah yang tinggal bersama dalam satu atap serumah dengan peran masing-masing serta keterikatan emosional suprajitno, 2004. Peran keluarga Peran adalah sesuatu yang di harapkan secara normatif dari seorang dalam situasi sosial tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan. Peran keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga. Jadi peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga di dasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok, dan masyarakat. Dalam UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 5 menyebutkan " Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungan". Dari pasal di atas jelas bahwa keluarga berkewajiban meningkatkan dan memelihara kesehatan dalam upaya meningkatkan tingkat derajat kesehatan yang optimal. Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing, antara lain ayah, dimana ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung / penganyom, pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Kemudian ada ibu yang berperan sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu. Universitas Sumatera Utara Lalu ada anak yang berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual Setiadi, 2008. Dukungan sosial keluarga Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang di peroleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya Cohen & Syme, 1996. Dukungan sosial keluarga adalah sebagai suatu proses hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosial Friedman, 1998. Dalam semua tahap, dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan adaptasi mereka dalam kehidupan. Studi-studi tentang dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga, baik dukungan-dukungan yang bersifat eksternal maupun internal terbukti sangat bermanfaat. Dukungan keluarga eksternal antara lain sahabat, pekerjaan, tetangga, sekolah, keluarga besar, kelompok sosial, kelompok rekreasi, tempat ibadah, praktisi kesehatan. Dukungan sosial keluarga internal antara lain dukungan dari suami atau istri, dari saudara kandung, atau dukungan dari anak Friedman, 1998. Jenis dukungan keluarga ada terdiri dari empat dukungan yaitu, dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan apprasial, dan dukungan emosional. Dukungan instrumental, yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit. Dukungan informasional, yaitu keluarga Universitas Sumatera Utara berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator penyebar informasi. Dukungan penilaian apprasial, yaitu keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas keluarga. Dukungan emosional, yaitu keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Friedman, 1998 Menurut House Smet, 1994 setiap bentuk dukungan sosial keluarga mempunyai ciri-ciri antara lain, informatif, perhatian emosional, bantuan instrumental, dan bantuan penilaian. Informatif, yaitu bantuan informasi yang disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi persoalanpersoalan yang di hadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, ide-ide, atau informasi lainnya yang dibutuhkan dan informasi ini disampaikan kepada orang lain yang mungkin menghadapi persoalan yang sama atau hampir sama. Perhatian emosional, setiap orang pasti membutuhkan bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini berupa dukungan simpatik dan empati, cinta, kepercayaan dan penghargaan. Dengan demikian seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau mendengar segala keluhannya, bersimpati dan empati terhadap persoalan yang dihadapinya, bahkan mau membantu memecahkan masalah yang dihadapinya. Bantuan instrumental, bantuan bentuk ini bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan aktifitasnya berkaitan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya, atau menolong secara langsung kesulitan yang dihadapi, misalnya dengan menyediakan peralatan lengkap dan memadai Universitas Sumatera Utara bagi penderita, menyediakan obat-obat yang dibutuhkan dan lain-lain. Bantuan penilaian, yaitu suatu bentuk penghargaan yang diberikan seseorang kepada pihak lain berdasarkan kondisi sebenarnya dari penderita. Penilaian ini bisa positif dan negatif yang mana pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian yang sangat membantu adalah penilaian yang positif. Efek dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan sosial keluarga adalah pada penyesuaian terhadap kejadian dalam kehidupan yang penuh dengan stress Setiadi, 2008. Dukungan keluarga pada pasien dengan perawatan ICU Keberhasilan pelayanan keperawatan bagi pasien tidak dapat dilepaskan dari peran keluarga. Pengaruh keluarga dalam keikutsertaannya menentukan kebijakan dan keputusan dalam penggunaan layanan keperawatan membuat hubungan dengan keluarga menjadi penting. Namun dalam pelaksanaannya hubungan ini sering mengalami hambatan, antara lain kesempatan kontak relatif terbatas Mundakir, 2006. Adanya kebijakan jam kunjungan di ICU menjadikan pasien merasa terpisah dengan keluarga yang mereka cintai. Pasien sering merasa kesepian dan kurang mendapat perhatian dari keluarganya. Kurangnya perhatian dapat secara aktual menyebabkan efek yang merusak pada kesehatan dan penyembuhan pasien. Universitas Sumatera Utara Maka keluarga merupakan orang-orang yang paling mungkin dan mampu memberikan aspek perhatian ini. Memberikan kehangatan, rasa cinta, perhatian dan komunikasi adalah hal yang bermakna dan penting dalam memenuhi kebutuhan psikososial pasien. Bahkan pada pasien tuli, tidak mampu berbicara, atau tidak mampu memahami bahasa, atau tidak mungkin berkomunikasi verbal karena intubasi atau sakit fisik lainnya juga memerlukan dukungan keluarga untuk memberikan kehangatan, rasa cinta, perhatian dan komunikasi yang mungkin dilakukan dengan menggunakan sentuhan Hudak & Gallo, 1997. 3. Konsep kebutuhan keluarga pasien Defenisi kebutuhan keluarga Kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar alasan untuk berusaha. Manusia memiliki kebutuhan dasar yang bersifat heterogen. Setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, akan tetapi karena terdapat perbedaan budaya, maka kebutuhan tersebut pun ikut berbeda. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada. Lalu jika gagal memenuhi kebutuhannya, manusia akan berpikir lebih keras dan bergerak untuk berusaha mendapatkannya. Kebutuhan keluarga merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh keluarga dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis individu-individu dalam keluarga tersebut, yang tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan Alimul, 2009. Universitas Sumatera Utara Faktor yang mempengaruhi kebutuhan keluarga Keluarga terdiri dari satu atau lebih individu dimana individu-individu ini adalah manusia yang pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama. Kebutuhan dasar manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain penyakit, hubungan keluarga, konsep diri dan tahap perkembangan. Adanya penyakit dalam tubuh dapat menyebabkan perubahan pemenuhan kebutuhan, baik secara fisiologis maupun psikologis, karena beberapa fungsi organ tubuh memerlukan pemenuhan kebutuhan lebih besar dari biasanya. Selain penyakit, hubungan keluarga yang baik juga dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasar karena adanya saling percaya, merasakan kesenangan hidup, tidak ada rasa curiga, dan lain-lain. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah konsep diri dimana konsep diri yang positif dapat memberikan makna dan keutuhan wholeness bagi seseorang. Konsep diri yang sehat menghasilkan perasaan positif terhadap diri. Orang yang merasa positif tentang dirinya akan mudah berubah, mudah mengenali kebutuhan dan mengembangkan cara hidup yang sehat, sehingga mudah memenuhi kebutuhan dasarnya. Terakhir, faktor tahap perkembangan dimana sejalan dengan meningkatnya usia, manusia mengalami perkembangan. Setiap tahap perkembangan tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda, baik kebutuhan biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual, mengingat berbagai fungsi organ tubuh juga mengalami proses kematangan dengan aktifitas yang berbeda Alimul, 2009. Universitas Sumatera Utara Kebutuhan keluarga pasien di ruang ICU Manusia sebagai makhluk holistik merupakan makhluk yang utuh atau paduan dari unsur biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Sebagai makhluk biologis, manusia tersusun atas sistem organ tubuh yang digunakan untuk mempertahankan hidupnya, mulai dari lahir, tumbuh kembang, hingga meninggal. Sebagai makhluk psikologis, manusia mempunyai struktur kepribadian, tingkah laku sebagai manifestasi kejiwaan, dan kemampuan berpikir serta kecerdasan. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu hidup bersama orang lain, saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup, mudah dipengaruhi kebudayaan, serta dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan dan norma yang ada. Sebagai makhluk spiritual, manusia memiliki keyakinan, pandangan hidup, dan dorongan hidup yang sejalan dengan keyakinan yang dianutnya. Perawat sebagai pelaksana dalam memberi pelayanan keperawatan haruslah memandang keluarga pasien sebagai makhluk yang utuh dengan kebutuhan biologis, psikologis, sosial dan spiritual Alimul, 2009. Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Abraham Maslow 1984 tentang kebutuhan kebutuhan secara holistik. Ada beberapa hal penting yang menjadi kebutuhan keluarga pasien saat menunggu pasien di rumah sakit, yaitu sebagai berikut 1. Kebutuhan dasar satu Kebutuhan Fisiologis Kebutuhan fisiologis bersifat neostatik usaha untuk menjaga keseimbangan unsur-unsur fisik seperti makan, minum, kebutuhan istirahat dan personal hygiene. Universitas Sumatera Utara 2. Kebutuhan dasar dua Kebutuhan Keamanan/Safety Kebutuhan fisiologis sifatnya adalah untuk mempertahankan hidup jangka pendek, sedangkan keamanan adalah pemahaman hidup jangka panjang. Kebutuhan keamanan keluarga saat dirumah sakit misalnya adanya jaminan pelayanan kebutuhan informasi, adanya dukungan mental. 3. Kebutuhan dasar tiga kebutuhan dimiliki dan dicintai Setelah kebutuhan fisiologis keamanan dipenuhi, kebutuhan selanjutnya yang menjadi tujuan dominan adalah kebutuhan dimiliki atau menjadi bagian dari kelompok sosial. Kebutuhan keluarga saat dirumah sakit contohnya adanya kedekatan keluarga dengan pasien, tersedianya kesempatan untuk memberi perhatian pada klien/pasien. 4. Kebutuhan dasar empat kebutuhan harga diri Ketika kebutuhan dimiliki dan dicintai sudah terpenuhi, selanjutnya yang menjadi tujuan dominan adalah kebutuhan harga diri sendiri/orang lain misalnya untuk kebutuhan keluarga adalah ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan dalam setiap pengobatan untuk pasien. The American College of Medicine Critical Care ACCM dan The Society of Medicine Critical Care SMCC merekomendasikan kebutuhan keluarga yang menunggu keluarganya dengan perawatan ICU meliputi kebutuhan untuk mengambil keputusan bersama, bukan keputusan sepihak oleh dokter, kebutuhan meningkatkan komunikasi dan menggunakan istilah-istilah yang keluarga bisa mengerti pada saat berkomunikasi, kebutuhan dukungan spiritual, mendorong dan menghargai do'a dan kepatuhan terhadap tradisi budaya yang membantu banyak Universitas Sumatera Utara pasien dan keluarga untuk mengatasi penyakit dan kematian, kebutuhan akan hadirnya keluarga pada saat resusitasi yang mungkin membantu keluarga untuk mengatasi stress akibat kematian orang yang di cintai, kebutuhan akan waktu kunjungan yang fleksibel, kebutuhan tersedianya ruangan menunggu untuk keluarga yang dekat dengan ruangan pasien, dan kebutuhan keluarga agar dilibatkan dalam proses perawatan paliatif Barclay & Lie, 2007. Menurut Henneman and Cardin kebutuhan anggota keluarga pasien kritis adalah kebutuhan akan informasi, kebutuhan untuk kepastian dan dukungan serta kebutuhan untuk berada di dekat pasien. Jenis informasi yang keluarga butuhkan dari perawat berhubungan dengan keadaan pasien secara umum. Keluarga ingin mendapat informasi tentang tanda-tanda vital stabil vs tidak stabil, tingkat kenyamanan pasien, dan pola tidur. Keluarga tidak mengharapkan perawat untuk memberikan informasi tentang prognosis, diagnosis, atau rencana pengobatan informasi ini mereka butuhkan dari dokter yang merawat pasien. Pernyataan ini juga berarti bahwa perawat tidak dapat dan tidak boleh memberikan jenis informasi ini. Kebutuhan untuk kepastian dan dukungan dimana keluarga perlu tahu bahwa salah satu orang yang mereka cintai sedang di rawat dengan cara terbaik dan bahwa segala sesuatu yang dapat dilakukan sedang dilakukan. Kebutuhan untuk meyakinkan dan memberi dukungan tidak berarti bahwa keluarga butuh harapan palsu untuk pemulihan yang tidak akan terjadi. Cara yang paling efektif untuk memberikan jaminan dan dukungan sering tak ada hubungannya dengan kata-kata yang diucapkan, melainkan ditunjukkan kepada keluarga dengan pelayanan lembut dan kepedulian setiap staf di ruang ICU. Universitas Sumatera Utara Kebutuhan untuk berada di dekat pasien yaitu berada di dekat orang yang mereka cintai yang sedang sakit. Mereka tidak hanya ingin memberikan dukungan dengan berada dekat dengan pasien, tetapi juga kehadiran fisik memungkinkan mereka untuk menyaksikan bagaimana anggota keluarga mereka sedang di rawat. Dengan memberikan waktu kunjungan yang fleksibel tidak hanya memungkinkan pasien dan keluarganya bersama namun juga memfasilitasi keluarga untuk memberikan dukungan pada pasien. Henneman et al mengatakan kebutuhan keluarga pasien yang keluarganya dalam perawatan kritis adalah kebutuhan akan informasi dan waktu kunjungan yang fleksibel. Informasi yang spesifik dan penting untuk keluarga pasien di identifikasi oleh Mirackle and Hovenkamp berupa kebutuhan untuk mendapat jawaban yang jujur atas pertanyaan-pertanyaan keluarga, kebutuhan untuk mengetahui fakta tentang prognosa pasien, kebutuhan untuk mengetahui hasil suatu prosedur yang telah dilakukan sesegera mungkin, kebutuhan untuk mendapat informasi dari staf mengenai status pasien, kebutuhan untuk mengetahui mengapa sesuatu dapat terjadi, kebutuhan untuk mengetahui komplikasi yang mungkin terjadi, kebutuhan untuk mendapat penjelasan atau keterangan yang bisa di mengerti, kebutuhan untuk mengetahui dengan jelas apa yang sedang terjadi, kebutuhan untuk mengetahui tentang staf yang memberikan perawatan, kebutuhan untuk mendapatkan bimbingan atau petunjuk tentang bagaimana suatu prosedur dilakukan Urden & Stacy, 2000 . Dalam sebuah studi tentang kebutuhan keluarga pasien yang menunggu keluarganya dengan perawatan ICU ada beberapa hal penting yang dibutuhkan yaitu kebutuhan untuk dihubungi ke rumah bila terjadi perubahan pada kondisi Universitas Sumatera Utara pasien, kebutuhan untuk mengetahui prognosa penyakit, kebutuhan untuk mendapat jawaban yang jujur atas pertanyaan keluarga, kebutuhan untuk menerima informasi tentang pasien sekali sehari, kebutuhan untuk mendapat penjelasan terhadap sesuatu yang tidak dimengerti, dan kebutuhan untuk mendapat jaminan bahwa pasien mendapatkan kenyamanan. Campbell, 2009. Meskipun kebutuhan keluarga pasien yang menunggu keluarganya dengan perawatan ICU tampak mudah, namun adalah kesalahan bila menganggap bahwa semua staf yang bekerja di unit ICU mengetahui dan mencoba memenuhi apa yang menjadi kebutuhan mereka Henneman and Cardin, 2002. Universitas Sumatera Utara

Penelitianini dilakukan pada 44 responden di ruang ICU RSUD Muntilan, Kabupaten Magelang. Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden berdasar Usia dan Jenis Kelamin Meskipun lama rawat inap dan kematian di ICU meningkat karena factor usia, namun kedua akibat itu lebih disebabkan oleh keparahan penyakit. Usia, ras, dan jenis kelamin tidak
ilustrasi tenaga kesehatan. ANTARA FOTO/Fauzan Jakarta, IDN Times - Satu tahun sudah wabah pandemik COVID-19 melanda Indonesia. Selama itu juga para pejuang virus corona tetap berdiri di garis terdepan melawan pagebluk, bahkan perjuangan mereka harus dibayar dengan perjuangan melawan COVID-19 dimulai dari tenaga medis dan kesehatan yang bekerja tanpa melihat waktu, salah satunya dialami dokter Vicky. Dokter asal Jambi ini sudah hampir setahun bertugas di ruang ICU rumah sakit rujukan COVID-19 di zona merah, cerita dan duka ia lalui saat merawat pasien COVID-19. Momen kematian pasien virus corona jadi hal biasa namun membuat luka yang berulang di tengah pandemik."Selama di rumah sakit sudah ratusan pasien yang meninggal tepat, di depan mata. Konflik batin selalu terjadi, sebab kebanyakan pasien masuk ruang ICU merupakan pasien gagal napas. Kayak kita mau tindakan itu salah sampai pemasangan mesin, karena memang jatuhnya kebanyakan tidak tertolong. Apalagi belakangan ini gejala cukup variasi," ujarnya saat dihubungi IDN Times, Rabu, 3 Maret 2021 hal lagi yang membuat Vicky sulit menjalani, yakni saat memberitahukan kabar kematian pada keluarga pasien. "Bisa bayangkan kita pun harus mempersiapkan bicara ke keluarga kabar duka," ungkapnya. Baca Juga Mengharapkan Vaksin, Nakes Ini Cerita Perjuangannya Hadapi Pandemik 1. Hazmat dipakai berkali-kali hingga dua hariPetugas medis di RSUD Kabupaten Tangerang. ANTARA FOTO/FauzanVicky menarik napas sejenak, dia tiba-tiba teringat saat kali pertama menangani pasien COVID-19 pada akhir Maret 2020. Saat itu, pasien yang dirawat mulai pasien nomor 20-an. Perasaan was-was sempat merayap saat dia diberikan mandat menjadi dokter di ruang ICU pasien virus menceritakan saat awal pandemik terasa pemerintah tidak siap, ruang pasien COVID-19 di ICU masih tercampur dengan pasien biasa, bahkan tidak ada pembatas dan hazmat pun terbatas."Namun yang lebih memprihatinkan, teman-teman perawat sampai memakai hazmat yang sama selama dua hari, beberapa kali, meski sudah ada proses sterilisasi tapi beberapa hari kemudian dia terpapar," ujar Derita tenaga kesehatan memakai APD berlapisIlustrasi tenaga medis. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi Bertugas di zona merah rumah sakit, membuat Vicky harus menggunakan hazmat berlapis tiga. Pengap, hampir dia rasakan, bahkan keringat selalu mengucur membasahi tubuhnya tiap hanya hazmat yang berlapis, namun masker rangkap dua yakni masker bedah berlapis N95 dan dilengkapi googles atau kacamata khusus untuk proteksi lebih."Kondisinya cukup pengap, tapi demi proteksi, tapi lama kelamaan juga panas, berkucuran keringat, dan sesak, kadang sampai tidak bisa konsentrasi. Cukup banyak juga rekan-rekan dinas yang akhirnya dobel pampers atau kencing di celana karena susah keluar masuk dan APD kurang juga saat dinas," kata dia mengungkapkan untuk sekadar makan dan minum sangat sulit sebab sangat berisiko jika lepas pasang APD. "Jadi bisa makan minum pun setelah bersih-bersih lepas dinas," kata Saat menyerah, ingat pada sumpah dokterIlustrasi tenaga kesehatan. ANTARA FOTO/FauzanTidak hanya fisik, Vicky mengungkapkan, dari awal pandemik sampai saat ini masih banyak tenaga medis dan kesehatan yang mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Tidak sedikit yang juga diusir dari tempat kos karena dianggap membawa kuman."Karena kita kerja di rumah sakit dianggap bawa kuman jadi dikucilkan, apalagi saat awal-awal wabah," wabah yang panjang dan berat membuat nakes serta tenaga medis menyerah dan putus asa, termasuk Vicky. Dia merasa apa edukasi yang dilakukan sia-sia saat menghadapi pasien yang tidak terbuka di tengah banyak kasus, serta kematian dokter dan perawat meningkat."Menyerah pernah, bahkan keluarga minta saya meneruskan lagi saja sekolah, tapi saya ingat akan sumpah saya jadi dokter. Jadi saya akan jalani penuh tanggung jawab, ya risiko saya pun pernah terpapar, jadi saya juga seorang survivor," ujar Vicky kondisi pandemik tidak menentu membuat rekan kerjanya memilih resign karena takut terpapar COVID-19. Terlebih, masih banyak masyarakat yang menilai virus corona ladang bisnis semata."Penghasilan kami tidak besar dengan burden/beban kerja sangat tinggi, terutama dari segi psikis. Bahkan, kami juga turut bersedih banyak dari rekan-rekan kami, senior, spesialis yang ikut tumbang terpapar virus ini. Sisi lain ada rekan yang seharusnya berhak mendapat insentif pun pada kenyataannya ada yang tidak mendapat sama sekali," Kondisi kesehatan sejatinya sudah dropTenaga Medis untuk tangani virus Corona dihotelkan Facebook/Anies Baswedan Kini, setahun wabah melanda, dokter Vicky tetap berada garda terdepan menjaga dan merawat pasien COVID-19 di ruang ICU. Vicky mengungkapkan, selama beberapa minggu ini memang kasus menurun berimbas pada keterisian rumah sakit yang juga turun, namun ruang ICU masih penuh."Saya berharap pemerintah juga fokus ke kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nakes pada khususnya, utamakan program-program preventif daripada penanganan atau kuratif saja. Untuk pengambilan kebijakan jangan dinilai secara populis saja, tapi dinilai dari berbagai sektor. Semoga penanganan pandemik di negara ini lebih baik ke depannya, kondisi kesehatan sejatinya sudah ambruk, sudah ada kerusakan kolateral," ujarnya. Baca Juga Kisah Nakes Belum Pulang Sejak Awal Pandemik COVID-19 Hingga Sekarang
knPL0.
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/116
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/312
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/16
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/399
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/369
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/154
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/157
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/274
  • kf5qz0k1qq.pages.dev/369
  • kematian di ruang icu